MoU PT. MEG (Mega Elok Graha) dengan Pemerintah Kota Batam dan Badan Pengusahaan Batam tahun 2004 tidak ada hubungannya dengan Rempang Eco City yang sekarang hendak membawa masuk investor ke Pulau Rempang, Kepulauan Riau. Hingga sejak 7 September 2023 menimbulkan masalah dan menyulut kerusuhan di tanah Melayu itu. Masalahnya warga masyarakat setempat, tak hendak diusir dari tanah leluhurya. Dalam MoU pohak pengusaha dengan pihak pemerintah dulu, seperti kesaksian Taba Iskandar yang saat itu sedang menjabat Ketua DPRD Kota Batam, tidak pernah ada perjanjian relokasi bagi penduduk setempat. Sehingga kondisinya aman-aman saja.
Setalah proyek KWTE (Kawasan Wisata Terpadu Ekslusif) itu dulu mangkrak hingga beberapa tahun lebih dari 20 tahun lamanta — MoU itu diperbaharui dengan mengikutsertakan pengosongan terhadap sejumlah kampung tua yang ada di Pulau Rempang, hingga jadi menyulut kerusuhan atau perlawanan rakyat yang senakin meluas. Membangkitkan solidaritas persaudaraan suku bangsa Melayu setanah air bangkit dan memberikan dukungan. Bahkan tidak sedikit warga Melayu yang ada di daerah lain — seperti Riau Daratan dan Jakarta — mengirim bala bantuan untuk menjaga semua kampung di Pulau Rempang yang hendak digusur itu.
Klaim Kepala BP Batam Muhammad Rudi yang menyebut bahwa rencana pembangunan Rempang Eco City yang berdampak pada relokasi itu merupakan kesepakatan tahun 2004 adalah keliru, seperti yang sudah dibantah oleh Ketua DPRD Kota Batam ketika itu saat dijabat oleh Taba Iskandar, katanya secara terbuka kepada media, 12 September 2023. Dan Menko Polhukam, Machfud MD pun mengakui adanya tumpang tindih perizinan kepada Pers di Istana Merdeka Jakarta, 12 September 2023.
Jadi keputusan BP Batam bersama Pemerintah Pusat yang telah membuat kesepakatan baru dengan pihak pengusaha Batam- Rempang Eco City yang meliputi industri, jasa, dan pariwisata diharap bisa meningkatkan daya saing Indonesia di kawasan Asia Tenggara, kata Menko Airlangga Hartarto pada 12 April 2023 silam. Sedangkan jauh sebelumnya, saat kampanye Pilpres ke – 2 Joko Widodo di Batam, seperti catatan Republika, 6 April 2019, telah menjanjikan terbitnya Sertifikat Lahan untuk Kampung tua di Batam.
Dihadapan puluhan ribu pendukung yang memadati Stadion Temenggung Abdul Jamal, Jokowi akan merampungkan penerbitan sertifikat lahan Kampung Tua dalam tiga bulan berikutnya. Bahkan, Kantor Berita Antara, Pemerintah Kota Batam Kepulauan Riau sedang memperjuangkan 37 lokasi Kampung Tua yang tersebar di penjuru pulau agar dikeluarkan dari Hak Pengelolaan Lahan Pulau Batam milik Badan Pengusahaan Kawasan Batam.
Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Abdul Djalil menegaskan pemerintah telah membentuk Tim Kampung Tua Batam yang akan mengupayakan penerbitan sertifikat lahan. Saat kampanye Capres, 6 April 2019, janji Joko Widodo ini masih terus ditunggu dengan sabar untuk diterima pula oleh warga masyarakat Rempang yang kini justru terancam digusur dari tanah leluhurnya. Selain itu, Joko Widodo juga berjanji akan membangun jembatan penghubung Batam dan Bintan. Ia tegas mengatakan akan segera mengirim tim untuk segera merampungkan desain teknis atau DED (Detail Engineering Design) untuk segera membangun jembatan Batam – Bintan itu.
Lalu pembangunan Pulau Rempang itu pun disebut-sebut akan membuka ratusan ribu lapangan kerja baru untuk masyarakat setempat. Tapi upaya pengusiran — atau dalam istilah Menko Polhukam Machfud MD disebut pengosongan — itu artinya sama dengan mengusir atau perusahaan yang hendak dibangun itu memang tidak akan menggunakan tenaga kerja dari warga masyarakat setempat ?
Padahal, ideal membangun itu tidak menggusur atau merusak apa pun yang sudah ada sebelumnya, bukan hanya lingkungan alam, tapi juga lingkungan sosial dan lingkungan budaya warga masyarakat yang sudah ada sejak ratusan tahun silam. Sebab begitulah amanah UUD 1945 yang baik dan benar bila serius hendak dilaksanakan seperti asas keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia yang sudah jelas dan tegas termaktub dalam sila-sila Pancasila sebagai implementasi dari sila kemanusiaan yang adil dan beradab.
Karena itu, upaya membangun Rempang Eco City perlu didukung oleh rakyat, selama semua pihak bersedia menempatkan hak dan kepentingan warga masyarakat setempat menjadi bagian yang tidak terabaikan. Bila tidak, maka perlawanan rakyat akan semakin meluas dan pasti akan menimbulkan kerugian serta banyak korban yang sulit diperkirakan.
Peringatan keras yang telah diekspresikan secara nyata oleh warga masyarakat — tak hanya sebatas yang ada di Rempang dan sekitarnya, tetapi telah menyulut kemarahan rakyat dalam skala nasional, harus dan patut mendapat perhatian serius dari pemerintah yang telah keliru dalam membuat kesepakatan dengan pihak pengusaha yang sudah bersedia masuk dan hendak menanamkan investasinya di negeri kita.
Banten, 16 September 2023